Melambangkanlambang daerah "Lancang Kuning" yang mempunyai makna: Daerah Riau dialiri oleh empat sungai besar yaitu: Sungai Kampar, Sungai Rokan, Sungai Indragiri dan Sungai Siak, dimana keempat sungai tersebut merupakan sumber kehidupan yang merupakan kebesaran rakyat Riau ; Lancang memberikan simbol bahwa kehidupan penuh dengan semangat yang Lancangkuning Yang menceritakan Tentang Seorang akan Misikin yang Mencoba merantau untuk mengadu nasib di Negri Orang, Dan ternyata Ia berhasil sukes dan Kaya Raya, Untuk lebih Jelasnya silahkan Baca kelanjutan Cerita Rakyat Riau : Lancang kuning berikut ini : Alkisah tersebutlah sebuah cerita, di daerah Kampar pada zaman dahulu hiduplah si KISI-KISI SOAL BUDAYA MELAYU RIAU (BMR) KELAS I TP. 2020/2021. Standar Kompetensi Kompetensi Indikator Indikator Soal Jumlah Bentuk Nomor Soal Kunci Dasar Soal Soal Soal Jawaban 1. Memahami 1.1 Mengenal 1.1.1 Disajikan 4 PG 1 Keluarga yang terdiri dari A hubungan hubungan Menyebutkan pertanyaan ayah, ibu, dan anak adalahkekerabatan dalam kekerabatan nama- nama siswa dapat a. RENCANAPELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) Sekolah : SMA Negeri 1 Rumbio Jaya Mata Pelajaran : Bahasa Inggris Kelas/Semester : X (Sepuluh) MIPA/IPS / Genap Materi Pokok : Teks Naratif; Legenda Rakyat Alokasi Waktu : 2 x 45 Menit (1 Pertemuan). A. Kompetensi Inti KI 1 dan KI 2: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. Adabeberapa kerajaan Islam yang ada di Riau dan Kepulauan Riau, contohnya Kerajaan Siak, Kerajaan Kampar, Kerajaan Indragiri. Kerajaan-kerajaan ini menjadi kerajaan bercorak Islam di abad ke 15. Pengaruh Islam di tiga kerajaan ini berasal dari kerajaan Samudera Pasai dan kesultanan Aceh Darussalam. proporsi orang adalah panjang kepala dengan tubuh. Gambar hanya ilustrasi. - Lancang Kuning berlayar malam. Haluan menuju ke lautan dalam. Kalau nakhoda kuranglah paham. Alamat kapal akan tenggelam. Lancang kuning menentang badai. Tali kemudi berpilit tiga. Lirik tersebut sangat populer di Riau, khususnya masyarakat Melayu. Filosofi dari baitnya mengisahkan bagaimana pemimpin nakhoda mengarungi lautan agar kapal lancang yang digambarkan sebagai pemerintahan tak kini tak diketahui pencipta pantun itu. Namun, Lancang Kuning tetap abadi karena disematkan sebagai sebutan untuk Riau. Begitu mendengar kata Lancang Kuning orang tertuju ke daerah yang berada di timur Pulau Sumatra diketahui pasti sejak kapan Riau disebut sebagai negeri atau bumi Lancang Kuning. Tak disebut pula siapa orang pertama yang memberi gelar ke daerah yang dulunya ada kerajaan Melayu penguasa Selat Malaka budayawan Riau, Tenas Effendy, dalam sebuah tulisannya berjudul Lancang Kuning pernah menyinggung kenapa Riau diberi gelar dengan sebutan itu. Dia menyebut sebutan ini sebagai tanda kegemilangan Riau sebagai daerah. Menurut Tenas, Lancang berarti kapal besar yang biasa digunakan raja-raja mengarungi lautan. Kapal ini juga tanda komando armada perang di lautan yang dikendalikan laksamana ataupun Kuning sendiri merupakan warna kebesaran dalam tradisi Melayu. Kuning selalu ditemukan dalam berbagai upacara, pakaian, riasan dan baju kebesaran petinggi adat, meski dipadu dengan warna atau kapal sangat akrab dengan masyarakat rumpun Melayu. Dengan ragam kerajaannya, misalnya Lingga di Kepulauan Riau atau Siak serta Indragiri di Riau, rumpun Melayu membentang dari laut China hingga Selat ini disebut sebagai pemersatu antar pulau-pulau dalam bentangan rumpun Melayu. Lancang juga mempermudah raja berpindah ke suatu daerah yang menjadi demikian, Lancang Kuning menandakan Riau sebagai kerajaan Melayu sangat mengusai maritim. Di sisi lain, Lancang Kuning juga menggambarkan kejelian pemimpin dalam memerintah daerah. Makanya dalam pantun itu ada kalimat "berlayar malam, kalau nahkoda kuranglah paham, alamat kapal akan tenggelam".Berlayar pada malam hari tentu saja berbeda dengan siang. Nakhoda pada siang hari berpedoman pada matahari sehingga semua orang bisa melakukannya. Berbeda dengan malam karena nakhoda harus paham arah angin dan membaca semua orang bisa membaca bintang. Makanya diperlukan nakhoda lihai untuk membawa kapal besar dalam sebuah lautan yang luas atau pemimpin bijaksana menjalankan pemerintah. Dengan demikian, pemimpin yang paham tentang seluk beluk daerah menjadi syarat mutlak bagi sebuah kapal dalam berlayar pasti bertemu badai. Makanya ada kalimat "Lancang kuning menentang badai, tali kemudi berpilit tiga".Kalimat tersebut saling berkaitan. Di mana ada masalah, di situ pula ada cara seorang pemimpin menyelesaikan. Apakah dengan sesuka hati atau melibatkan unsur lain berpilit tiga.Dalam berbagai literatur, pilit tiga dalam Melayu terdiri dari tiga unsur, yaitu umara cerdik pandai atau bisa saja perdana menteri, tetua adat dan terakhir ulama atau orang paham agama. Karena Melayu sarat dengan nilai-nilai Islam, posisi ulama menempati posisi paling atas. Ketiga unsur itu menjadi syarat bagi raja dalam mengambil keputusan ketika menghadapi ketiga unsur ini kemudian menjadi konstitusi. Menjadi aturan bagi raja dalam menjalankan pemerintahan agar tidak melenceng dan berakibat merugikan dalam pantun yang kemudian digubah menjadi lagu itu, ditambahkan bait "selamatlah kapal menuju pantai, pelautlah pulang dengan gembira".Dendam dan Konflik Penguasa Dalam versi lain, Lancang Kuning juga menceritakan dendam dan konflik pribadi para penguasa. Konflik untuk berebut kekuasaan itu kemudian berdampak besar terhadap kehancuran sebuah pemerintahan dan Tenas yang juga penyusun buku Tunjuk Ajar Melayu ini, legenda Lancang Kuning mengisahkan kerajaan makmur di Bukit Batu, Kabupaten Bengkalis. Kerajaan ini diperintah Raja Datuk Laksamana Perkasa memiliki dua panglima bernama Umar dan Hasan, serta Bomo. Nama terakhir merupakan sebutan untuk dukun atau ahli nujum berpengaruh di kerajaan untuk menjaga keselamatan orang-orang besar di suatu ketika, Umar dan Hasan sama-sama tertarik kepada satu perempuan bernama Zubaidah. Hanya saja Umar lebih beruntung dan akhirnya mempersunting gadis yang juga diinginkan lalu berniat merebut Zubaidah dari tangan Umar. Dia mempengaruhi Bomo untuk menyingkirkan Umar. Dengan bujuk rayu Umar, Bomo lalu diminta menyampaikan pesan kepada raja tentang mimpi yang meminta Umar membuat kapal pemberantas bajak Saban hari Umar membuat kapal yang diberi nama Lancang Kuning. Ketika kapal selesai, Hasan dan Bomo membuat kabar bohong yang menyebut Bathin Sanggono melarang nelayan Bukit Batu mencari ikan di Tanjung berangkat menemui Bathin Sanggono dan menanyakan kabar itu. Bathin Sanggono membantah kabar itu sehingga Umar sadar bahwa dirinya dibohongi oleh Hasan dan Umar ini dimanfaatkan Hasan merayu Zubaidah yang tengah hamil tua agar menjadi istrinya tapi ditolak. Siasat baru dibuat Hasan dan Bomo, persisnya ketika kapal buatan Umar akan diluncurkan ke laut pada malam bulan itu dibuat seolah-olah tidak bisa digerakkan meski didorong oleh banyak orang. Bomo menyarankan kepada raja agar mengorbankan seorang perempuan yang sedang hamil meminta peluncuran Lancang Kuning ditunda, tapi Hasan tetap ingin berbuat licik agar siasatnya berjalan. Hasan lalu mengultimatum Zubaidah, kalau masih menolak jadi istrinya, dia akan dijadikan tumbal Lancang Kuning yang akan diluncurkan ke tetap menolak, Zubaidah ditarik paksa oleh Hasan ke lokasi Lancang Kuning, lalu dia mendorong tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning. Perahu itu pun meluncur ke yang baru pulang menemui Bathin Sanggono amat terpukul mendengar cerita mengenaskan tentang istri dan bayinya. Umar pun membunuh Raja dan Hasan serta Bomo menggunakan yang sedih lalu berlayar ke Tanjungjati menggunakan Lancang Kuning. Namun, di tengah laut, Lancang Kuning dihantam ombak besar dan angin topan. Lancang Kuning karam, dan Umar tewas. Kejayaan Kerajaan Bukitbatu pun musnah karena semua pimpinannya Tenas, legenda Lancang Kuning ini menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat Riau. Cerita ini menggambarkan agar raja tidak mudah percaya dengan kabar yang dibuat bawahannya. Bisa jadi, kabar dari bawahan sebagai alat menjatuhkan bawahan lainnya. ***Berita ini telah tayang di dengan judul "Riau dan Asal Mula Sebutan Bumi Lancang Kuning"EditorAkham Sophian Pekanbaru, terkenal dengan batik Riau yang bermotif khas melayu yang sangat indah, Riau juga terkenal dengan lancang kuning. Lancang Kuning sudah menjadi cerita rakyat Riau turun temurun di daerah Pekanbaru Riau. Lancang Kuning adalah sebuah kapal. Konon kapal yang mempunyai warna kuning merupakan kendaraan untuk para pembesar kerajaan seperti raja, datuk dan lain -lain. Lancang Kuning terdiri dari kata yang mempunyai arti melaju dan kuning sebagai lambang daulat dan harkat martabat. Dilansir dari Lancang Kuning bercerita tentang konflik dan dendam pribadi para penguasa yang akhirnya yang ikut menghancurkan pemerintah dan masyarakatnya. Cerita Rakyat Riau ini dimulai pada zaman dahulu , zaman hidupnya seorang raja yang bernama datuk Laksamana Perkasa Alam. Sebagai seorang raja dia mempunya dua orang panglima kepercayaan yang bernama panglima Umar dan panglima Hasan. Selain itu dia juga mempunyai seorang dukun yang bernama Bomo yang mempunyai tugas menjaga keselamatan orang-orang istana. Panglima Umar dan Hasan sama -sama tertarik pada seorang wanita cantik yang bernama Zubaidah. Persaingan ini dimenangkan oleh Panglima Umar. Panglima Umar lebih dahulu mempersunting Zubaidah sebagai istrinya. Menyaksikan hal ini panglima Hasan kecewa dan bermaksud jahat untuk merebut Zubaidah dari tangan panglima umar. Dalam upaya ini panglima Hasan mengajak Bomo sang dukun istana agar ikut membantu menyingkirkan Umar. Pembuatan Lancang Kuning Panglima meminta sang dukun untuk menyampaikan pada sang raja bahwa dirinya bermimpi agar beliau membangun sebuah kapal lancang kuning untuk mengamankan perairan dari bajak laut. Raja Datuk Laksmana menyetujui hal tersebut dan mulailah dibuat sebuah kapal lancang kuning selama berhari -hari. Pada saat kapal lancang kuning hampir selesai. Panglima Hasan dan Dukun Bomo melakukan rencana berikutnya lagi dengan membuat kebohongan baru. Mereka mengatakan kepada Raja Bahwa Bathin Sanggono telah melarang para nelayan dari bukit batu untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Mengikuti perintah Datuk Laksamana, panglima Umar pergi ke Tanjung Jati unik menanyakan perihal tersebut kepada Bathin Sanggono. Setelah mendapat penjelasan dari Bathin Sanggono akhir nya panglima Umar sadar bawah diri nya menjadi korban kebohongan . Sementara itu pada saat panglima Umar pergi panglima Hasan merayu Zubaidah yang tengah hamil tua agar mau menjadi istrinya. Namun maksud panglima Hasan di tolak oleh Zubaidah. Panglima Hasan tidak sampai disitu saja. Kapal lancang kuning yang rencananya akan diluncurkan ke laut pada saat bulan purnama dibuat seolah -olah tidak bisa digerakkan walaupun di dorong oleh banyak orang . Dukun Bomo menyerankan agar ada yang dikorbankan. Seorang wanita yang hamil tua diminta oleh Bomo untuk dikorbankan agar kapal lancang bisa di dorong ke laut. Datuk Laksama akhirnya menunda peluncuran kapal lancang kuning. Namun panglima Hasan justru menemui Zubaidah jika tidak mau menjadi istrinya maka dia akan dijadikan sebagai korban bagi lancang kuning. Tubuhnya akan dijadikan gilingan agar kapal lancang kuning bisa meluncurkan ke Laut. Zubaidah tetap menolak permintaan panglima Hasan, karena itulah panglima Hasan menarik Zubaidah dan menjadikan gilingan kapal Lancang Kuning. Kapal lancang kuningpun meluncur ke laut dan Zubaidah tewas bersama jabang bayinya. Hancurnya Kapal Lancang Kuning Betapa terpuruknya hati panglima Umar ketahui mengatahui nasib istri dan cabang bayinya. Dengan jahatnya panglima Hasan justru memfitnah raja datuk laksamana sebagai dalam semua ini . Mendengar ini panglima Umar kemudian mencari dan membunuh Datuk Laksamana. Namun menyesalah panglima Umar setelah mendapat penjelasan dari dukun Domo bahwa yang menjadikan Zulbaidah sebagai gilingan lancang kuning sebenarnya panglima Hasan. Mengetahui itu panglima Umar langsung mencari panglima Hasan dan kemudian membunuhnya juga. Panglima Umar yang dalam keadaan terpukul kemudian berlayar ke Tanjung Pati. Malang ditengah laut kapal lancang kuning diterjang badai dan tenggelam. Panglima Umar tewas dan kerajaan bukit batu pun berakhir sudah. *** R24/iko INDEX BERITA Dongeng cerita rakyat Riau yang kami ceritakan kali ini agak mirip dengan cerita rakyat Sumatera Barat yaitu cerita Malin Kundang. Bagi adik-adik yang pernah membaca dongeng Malin Kundang pasti akan tahu kemiripan kedua legenda rakyat ini. Selamat membaca. Pada zaman dahulu, di daerah Kampar, hiduplah Si Lancang dengan ibunya. Mereka sehari-hari hidup prihatin mengandalkan penghasilan yang minim sebagai buruh tani. Keadaan ini membuat Si Lancang berpikir untuk memperbaiki nasib dengan pergi merantau. Pada suatu hari, Si Lancang berangkat ke negeri orang. Diceritakan, Si Lancang bekerja keras bertahun-tahun lamanya. Segala perjuangannya tidak sia-sia, ia berhasil menggapai cita-citanya menjadi orang kaya. Ia menjadi saudagar yang memiliki berpuluh-puluh kapal dagang. Akan tetapi, ia lupa pada ibunya dan segala janji manisnya dahulu. Pada suatu hari, Si Lancang singgah di Kampar. Berita kedatangan Si Lancang terdengar oleh ibunya. Ia mengira bahwa Si Lancang pulang untuk dirinya. Dengan memberanikan diri, ia naik ke geladak kapal mewah Si Lancang. Si ibu langsung menghampiri Si Lancang dan ketujuh istrinya. Betapa terkejutnya Si Lancang ketika menyaksikan bahwa perempuan berpakaian compang camping itu adalah ibunya. Akan tetapi, harapan ibu Si Lancang hanya tinggal harapan. Rasa malu dan marah pun tak dapat ia tahan. Ibunya segera menghampirinya. “Engkau Lancang, Anakku! Oh… betapa rindunya hati emak padamu.” Mendengar sapaan itu, si Lancang begitu tega menepis pengakuan ibunya sambil berteriak. “Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! usir perempuan gila ini!” Dengan perasaan hancur, ibunya pergi meninggalkan semua angan-angan tentang anaknya. Luka hati seperti disayat sembilu. Setibanya di rumah, hilang sudah akal sehatnya dan kasih sayangnya karena perlakuan buruk yang diterimanya. Ia mengambil pusaka yang dimilikinya berupa lesung penumbuk padi dan sebuah nyiru. Diputarnya lesung itu dan dikibas-kibaskan nyiru itu sambil berkata, “Ya Tuhanku… hukumlah si anak durhaka itu.” Dongeng Cerita Rakyat Riau Tidak perlu waktu lama, Tuhan mengabulkan permintaan ibu tua renta itu. Dalam sekejap, turunlah badai topan. Badai tersebut meluluh lantakkan kapal-kapal dagang milik Si Lancang dan harta benda miliknya. Menurut cerita rakyat setempat, kain sutranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Gongnya terlempar ke Kampar Kanan dan menjadi Sungai Ogong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama Danau Si Lancang. Hingga sekarang, nama nama tempat itu masih ada dan dapat kita disaksikan. Pesan moral dari Dongeng Cerita Rakyat Riau Kisah Si Lancang adalah hendaknya kita menjadi anak yang berbakti kepada orangtua, terutama kepada ibu, karena itu adalah kewajiban kita dan pasti akan mendapat pahala. Sebaliknya, menjadi anak durhaka akan membawa malapetaka. Navigasi pos

cerita rakyat riau lancang kuning